Memaknai Haji dan Qurban

Monday, December 15, 2008 Leave a Comment



Setiap kali datang bulan Dzulhijah yang kita kenal dengan bulan haji, sebagian masyarakat Muslim yang mampu melaksanakan rukun Islam kelima melakukan perjalanan ke Tanah Suci Makkah. Dengan semangat yang tetap besar di tengah kondisi bangsa yang sedang prihatin, umat Islam menunaikan kewajiban agamanya dengan jumlah jamaah haji yang setiap tahun tetap besar. Jumlah yang besar ini mudah-mudahan diimbangi juga dengan kualitas individual baik fisik, sosial, maupun spiritual.

Ibadah haji dan kurban bermula dari kisah Nabi Ibrahim sebagai lambang tauhid berhadapan dengan kesyirikan yang diwakili oleh ayahnya sendiri dan masyarakatnya. Apa arti semua itu bagi umat Islam? Kisah yang mengharukan dan filosofis tentang perjalanan Nabi Ibrahim dilukiskan Alquran hanya dalam 10 ayat pendek, dan di bagian lain sebuah pernyataan yang juga hanya sekitar 10 ayat. Yang pertama, kurban adalah simbol pengorbanan demi membela tauhid, dan yang kedua, kurban demi membela dan membantu kaum fakir miskin.

Memang, kurban ini wujudnya berupa hewan yang secara simbolik dipersembahkan kepada Tuhan. Tetapi, konkretnya yang sampai kepada Allah bukan daging dan darahnya, melainkan yang sampai adalah ketakwaan (QS 22: 37). Ketakwaan yang menjadi salah satu syarat ini, tak lain adalah kecintaan kepada Tuhan dan ini menuntut juga untuk mencintai sesama manusia dengan segala perbuatan baik.

Berbuat amal kebaikan harus diwujudkan dalam simbol-simbol lahir dan batin, seperti penyembelihan hewan kurban dengan tujuan utama daging hewan itu dibagikan kepada masyarakat kurang mampu. Sedangkan, niat dan tindakan adalah sebuah manifestasi ketakwaan. Kita dapat belajar dari kurban hewan yang dilakukan oleh Rasulullah. Rasulullah menyembelih sebanyak 100 ekor, menurut satu sumber, dan 63 ekor menurut sumber lain, bukan sekadar untuk ulang tahun yang ke-63, tetapi terutama sebagai rukun ibadah untuk menyantuni masyarakat tidak mampu.

Di sini, kita diuji dalam arti lahir, untuk selalu menyantuni masyarakat yang tidak mampu. Begitupun, kita diuji dalam arti batin untuk selalu bersikap sabar dan tabah. Bahkan, secara simbolik anak yang merupakan curahan cinta kasih ibu dan bapak pun harus dikurbankan demi kecintaan kepada sesama manusia yang lebih luas, dengan membuang jauh-jauh sifat egois.

Peristiwa ini adalah isyarat nyata bagi kita untuk merenungkan secara lebih mendalam. Rangkaian ibadah haji dan kurban memang bukan sekadar mengenang peristiwa ini, atau juga sekadar mengejar surga dan neraka. Lebih dari itu, memberi arti dengan dimensi yang luas dalam pengertian kehidupan agama dan sosial. Isyarat ini menunjukkan bahwa kita mesti berkurban secara ruhani, materi, dan fisik.

Pengurbanan lahir-batin
Menunaikan ibadah haji adalah suatu pengurbanan lahir dan batin. Ini adalah peneladanan terhadap Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam pengurbanannya yang sangat besar. Tak henti-hentinya Nabi Ibrahim--ketika itu bersama anaknya tinggal di tempat yang tandus di sekitar Masjidil Haram-- berdoa agar negerinya dijadikan tempat yang aman dan dijauhi dari penyembahan berhala dan dijadikan hati sebagian manusia mencintai mereka.

Itu juga dorongan yang membuat sebagian orang ingin memenuhi kerinduan hati menunaikan ibadah haji karena doa Nabi Ibrahim atau karena mendapat panggilan Allah. Setiap Muslim dengan keimanan dan kesadarannya ingin berziarah ke Masjidil Haram dan Ka'bah sebagai simbol tauhid. Bahkan, tak jarang orang harus berulang kali pergi haji. Barangkali ini tak lepas dari doa Nabi Ibrahim, ''Jadikanlah hati sebagian manusia mencintai mereka.'' (QS 14: 37). Hanya, alangkah indahnya mereka yang sudah berulang kali pergi haji sesekali menggantinya dengan ''berkurban'' membagikan biaya hajinya berikut biaya kurban kepada masyarakat fakir miskin di negeri kita yang secara statistik masih melimpah.

Seperti halnya ibadah puasa, kita berlatih membersihkan diri dari segala cacat rohani, tidak hanya di bulan Ramadhan, tetapi terus-menerus setiap waktu. Setiap tahun diharapkan lebih baik dari sebelumnya. Demikian halnya, tentunya dengan ibadah haji. Diharapkan, dengan berhaji, ibadah kepada Allah dan akhlak kepada sesama manusia akan menjadi lebih baik dibanding sebelum-sebelumnya.

Kita tahu, kondisi umat Islam di negeri kita tercinta ini kerap kali memendarkan pertanyaan. Mengapa di negeri mayoritas Muslim ini korupsi tetap merajalela? Apanya yang salah? Bukankah agama sudah memberikan banyak ritual dan pelatihan spiritual guna meningkatkan keamanahan diri? Mengapa umat Islam harus berbondong-bondong mengikuti olah spiritual di luar ajaran Islam? Bukankah sebenarnya, shalat, puasa, juga ibadah haji kalau ditunaikan secara khusyuk, kontemplatif-reflektif, dan emansipatoris-spiritual, akan melahirkan ''daya ledak'' kedirian yang luar biasa?

Inilah yang perlu terus-menerus kita refleksikan dan implementasikan dalam kehidupan nyata agar kemudian mendorong kita untuk mewujudkan perbaikan di segala bidang. Inilah yang dinamakan jihad sesungguhnya, yakni berjihad untuk mempertahankan dan mengungkapkan secara nyata dalam kehidupan profan ini. Jihad jangan hanya dimaknai sebagai ''bunuh diri'' demi membela apa yang dipandng kebenaran. Hidup nyata inilah yang justru menjadi lahan persemaian semangat jihad.

Nabi sudah mengingatkan, ''Dunia adalah tempat menyemai bagi akhirat.'' Kalau tidak ada peningkatan kualitas umat, seolah-seolah kita dapat mengatakan, apa pentingnya jumlah jamaah haji Indonesia yang cenderung tiap tahun meningkat ini dengan perbaikan kualitas diri, yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Wajar, pernyataan ini dikemukakan. Sebab, setiap perintah agama pasti mengandung inner drive yang akan berguna bagi peningkatan kualitas pribadi dan sosial.

Kalau dulu kita bakhil, enggan bersedekah, terlalu berhitung dalam beramal, sering mengecoh, berdusta dan menggunjing, sombong, angkuh, sepulang dari berhaji harus lebih dapat memperbaiki diri dan melaksanakan perbuatan yang terpuji. Ibadah haji dapat dipahami sebagai medium membangun kesadaran dan tindakan untuk mengubah sifat egois ke sifat altruis. Dengan cara itulah, keseimbangan diri manusia akan terwujud, yakni semakin mantap dalam berhubungan dengan Allah dan semakin humanis dalam hubungan dengan sesama manusia.

Tetapi, di samping itu, cara mengerjakan segala amal kebaikan tentu tidak terbatas hanya melalui kurban hewan di kawasan Tanah Suci Makkah. Dapat saja, misalnya, dilakukan di Tanah Air dengan syarat-syarat tertentu yang berlaku dalam hukum Islam. Di samping itu, melengkapi ibadah dengan hewan kurban dapat juga dilakukan dalam bentuk lain, seperti dialihkan menjadi sembako atau disesuaikan dengan keperluan mendesak masyarakat fakir miskin di lingkungannya. Merekalah yang sebenarnya perlu mendapatkan perhatian.

Walhasil, sudah waktunya umat Islam untuk menjadikan Hari Raya Kurban ini sebagai etos bagi peningkatan lahir dan batin. Banyak hikmah yang bisa direngkuh dari momen sakral ini. Yang terpenting adalah selalu menyadarkan umat Islam makna pengurbanan.

UJE

0 comments »

Leave your response!